Contoh Esai Kehidupan (Apply Humansview)

Esai ini saya kirim ke humansview beberapa pekan lalu untuk ekspedisi cerita Nepal 2019 sebagai prasyarat untuk mendapatkan fully funded pada perjalanan ke Nepal. Namun sayangnya, saya belum beruntung. Dan akhirnya saya putuskan untuk memosting ke dalam blog, siapa tahu ada yang butuh pencerahan dalam esai apa yang akan dibuat hehe. Selamat membaca!

39093003_335507110520892_736929698373697536_n
Humansview

ESAI HUMANSVIEW

Tema Esai: “Perjalanan Membawa Cerita Toleransi”

Sub tema yang dipilih: “Pengaruh perjalanan (travelling) terhadap pemikiran (open minded) masyarakat”

Detail Kisah dalam Sebuah Perjalanan

          Banyak orang suka melakukan travelling, namun sayangnya hanya sedikit yang mampu memahami esensi dari perjalanan itu sendiri. Bagi kebanyakan masyarakat di perkotaan, travelling menjadi pilihan karena merupakan sarana pelampiasan dari penatnya aktivitas di kota. Mengunjungi kota-kota baru, pendakian ke gunung, atau ke pantai menjadi destinasi yang menyenangkan bagi kaum urban. Dan sebenarnya, nikmat travelling bisa sangat banyak di dapatkan jika kita mampu memahami sebuah perjalanan dengan lebih celik.

Banyak dari kita melakukan perjalanan menggunakan jasa travel, terutama untuk berlibur dan melepas penat dari stres di kota. Irinerary sudah tersedia dan kita hanya perlu mengikuti jadwal yang ada, serta mempersiapkan barang-barang yang perlu di bawa dan di masukkan ke koper atau tas carrier. Kita berlibur, bertemu teman baru, update foto dan pemandangan indah, menikmati, lalu pulang kembali ke kota, dan esoknya kembali bekerja dengan mood yang masih bagus karena baru selesai dari liburan. Lantas pada kemudian hari, kita merasa penat lagi dan kembali berlibur lagi. Lalu,
‘Apakah esensi dari berlibur hanya sebatas itu? Pergi, update foto, menikmati, lalu kembali ke kota yang kemudian hari ingin kembali berlibur lagi?’

Saya rasa amat disayangkan jika ‘perjalanan’ dimaknai hanya sebatas itu. Mungkin kita tidak merasakannya karena manusia seringkali lupa. Padahal, kita sebagai manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dan tentang kota yang kita kunjungi saat liburan, bukankah ada manusia lain yang hidup disana? Apa pelajaran yang kita dapatkan dari perjalanan yang kita lakukan? Pada cerita kali ini, saya akan coba menguraikan pemikiran tentang perjalanan yang membuat kita mungkin akan menjadi manusia yang lebih bersyukur. Tentu saja, tulisan ini tidak ada maksud untuk menggurui. Namun saya menekankan untuk kita sama-sama sharing, jadi jika dirasa ada yang kurang silahkan diungkapkan saja agar kita bisa sama-sama memetik cerita dan membuka wawasan kita menjadi lebih luas lagi.

Cerita ini bermula ketika saya sudah cukup dewasa untuk memikirkan tentang perjalanan. Nama saya Fathul Muin, tinggal di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Saya baru saja menyelesaikan skripsi pada Juli 2018. Saya tinggal di Depok bersama dengan orang tua, yang sebenarnya kami adalah perantauan dari Banyumas, Jawa Tengah. Kami tinggal di Depok ketika saya berumur 3 tahun, sehingga saya merasakan bagaimana menjadi ‘besar’ di kota dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan kampung halaman yang masih memiliki suasana pedesaan dan jauh dari hiruk pikuk kota. Namun Alhamdulillah, di kota ini hidup kami berkecukupan sampai saya kuliah dan lulus sidang skripsi.

Seminggu setelah sidang skripsi, saya pamit kepada orang tua dan izin ingin pergi ke gunung. Karena saya rasa, suasana di pegunungan akan membuat saya merasa lebih baik setelah berbulan-bulan berkutat dengan skripsi, revisi, dan deadline sehingga merasa sedikit stres dan membutuhkan udara segar. Terpilihlah Gunung Gede di Bogor, sebagai tujuan saya untuk destinasi berlibur. Saya ke Gunung Gede bersama dengan teman sehingga jumlah tim kami berlima, dan kami mempersiapkan rencana perjalanan dengan sebaik mungkin. Sebelum memutuskan untuk ke Gunung Gede, awalnya terpikir untuk pergi ke pantai. Hanya saja untuk saat ini gunung adalah pilihan yang baik. Karena ada juga teman yang penasaran kenapa banyak orang suka mendaki gunung. Hitung-hitung, sekalian pendakian perdananya karena dia penasaran ingin mencoba bagaimana rasanya naik gunung. Ungkapan yang sering ia lontarkankan adalah,
‘kenapa sih banyak orang yang suka mendaki gunung? Kan cape, udah gitu ngga bisa mandi, makannya ga enak’

Atas dasar itulah akhirnya kami berlima memutuskan untuk mendaki gunung. Hehe
Malam itu kami bersiap untuk melakukan perjalanan dengan menggunakan motor, padahal awalnya kami ingin menggunakan bus. Hanya saja kami memikirkan jika menggunakan bus, nanti akan repot saat perjalanan pulang karena transportasi cukup sulit di jalur pendakian Cibodas gunung Gede. Karena dirasa akan lebih efektif dan efisien, maka kami rasa tidak masalah untuk berkorban sedikit lebih cape dalam perjalanan karena membawa motor. Toh nanti saat sampai juga istirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian.

Sebelum berangkat, kami benar-benar mempersiapkan dengan baik dan memastikan tidak ada hal yang terlupa. Namun yang benar-benar saya ingat dari persiapan ini adalah, sebenarnya kami bukanlah tim yang akrab dan sudah kenal lama. Hanya saja malam ini berbeda, atas dasar ingin berlibur bersama kami pun menjadi lebih akrab dan lebih peduli sesama. Padahal pada realitas kesehariannya, kami benar-benar masing-masing. Saya dengan skripsi yang terus-terusan revisi hingga frustasi dan hampir menyerah, dan teman saya yang lain dengan kesibukkannya sendiri entah bekerja, kuliah, atau bahkan pacaran sambil kuliah. Kita memang selalu punya pilihan dan jalan takdirnya masing-masing dalam kehidupan.

Perjalanan menuju basecamp Gunung Gede kami lakukan di malam hari, karena ini akan meminimalisir kemacetan. Dan Alhamdulillah berjalan dengan lancar, sampai tibalah kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Tempat yang kami pilih merupakan kedai kopi kecil, berada dekat dengan Masjid Atta’Awun, Bogor.

Tim kami berlima adalah Rafdhi, Irawan, Dabo, Pural, dan juga saya sendiri. Rafdhi merupakan mahasiswa Universitas Gunadarma yang bulan Agustus baru akan memulai skripsi, itu berarti bulan depan. Irawan merupakan seorang pekerja di salah satu kantor Networking di Jakarta, Pural merupakan guru robotik khusus bagi anak-anak SD dan SMP di Jakarta, sedangkan Dabo baru saja resign dari kantor dia bekerja sehingga dia juga butuh pelarian—alhasil ke gunung. Di kedai, ternyata pelayan kami merupakan seorang bapak yang sangat ramah. Beliau bercerita bahwa dia sudah lebih dari 20 tahun membuka kedai, dan beliau sangat suka dengan pemuda seperti kami yang suka aktivitas alam. Kami terheran, bapak ini begitu antusias dan sangat senang bercerita. Usut punya usut, ternyata beliau juga seorang pendaki gunung! Wah pantas saja, tahu banyak tentang gunung-gunung di Indonesia! Dan sebelum kami pamit untuk melanjutkan perjalanan, beliau berpesan bahwa kami harus menjaga alam agar tidak semakin rusak. Mendaki gunung itu baik, namun jangan lupa untuk membawa sampah turun. Beliau merasa miris karena banyak pemuda yang gemar mendaki, namun hanya memiliki tujuan demi eksistensi dan memiliki foto-foto bagus di media sosial. Kami mengangguk dan berjanji untuk mengingat perkataan beliau, kemudian melanjutkan perjalanan.

Pukul 1 dini hari, kami sampai di basecamp pendakian gunung Gede pada jalur Cibodas. Sebagai informasi, Gunung Gede memiliki 3 jalur utama yaitu Jalur Salabintana, Jalur Gunung Putri, dan Jalur Cibodas. Dan jalur Cibodas menjadi pilihan karena lebih dekat dari Depok, juga menjadi tempat parkir motor yang aman. Rencananya kami carter angkot untuk esok pagi kami akan ke Jalur Putri, dan turun lewat Jalur Cibodas sehingga akan lebih menyenangkan karena kami lintas jalur. Dan kami memutuskan lintas jalur seperti ini karena jalur Gunung Putri memakan waktu paling cepat untuk mendaki Gunung Gede. Berbeda dengan jalur Salabintana, yang jalurnya sangat panjang dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan pendakian. Sehingga nantinya ketika kami naik Gunung Gede lewat Jalur Putri dan saat sampai di jalur Cibodas ketika turun, kami bisa langsung kembali ke Depok karena ada teman kami yang bekerja pada hari senin nanti.

Di basecamp Cibodas, kami langsung melakukan packing ulang untuk memastikan barang-barang tidak ada yang tertinggal. Setelah itu Rafdhi dan Irawan mencari angkot untuk carter. Lalu saya, Pural, dan Dabo memesan teh hangat untuk istirahat sejenak sebelum kami memutuskan untuk tidur. Warung Pak Junaedi, merupakan basecamp kami untuk beristirahat dengan 2 ruang kamar umum dibawah dan lantai atas, 1 kamar mandi, dan 1 mushala. Adalah mba Sum yang merupakan istri dari Pak Junaedi, yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menjadi tempat singgah bagi pendaki yang membutuhkan rumah untuk istirahat. Pak Junaedi juga memiliki 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Anak-anak mereka sudah tidur ketika kami sampai dan silaturahmi.

Kami banyak mengobrol dan bercanda dengan pak Junaedi, karena ternyata pak Junaedi dahulu tinggal di Depok juga. Dan saat kami tanyakan ke beliau kenapa pindah ke Bogor, jawabannya adalah:
‘Saya pindah ke Bogor karena pekerjaan. Disini juga saya menemukan tambatan hati saya sampai akhirnya menikah dan memiliki anak. Sebenarnya saya suka di Depok, karena disana adalah tempat saya tumbuh. Tapi saya juga tidak masalah di Bogor, karena dengan pindah begini saya kaya akan pengalaman apalagi cerita bareng sama mas-mas gini.’

Kami semua bertepuk tangan dan meledek Pak Junaedi, namun pak Junaedi hanya tertawa. Lantas kami pamit untuk tidur, karena esok pagi harus bersiap untuk melakukan pendakian. Kami semua naik ke lantai atas untuk tidur, namun sayangnya saya belum mengantuk. Tba-tiba teringat kata-kata pak Junaedi tadi tentang pindah ke Bogor. Sebenarnya, perihal tempat tinggal adalah tentang dimana kita merasa nyaman akan suatu tempat. Saya pun merasakannya. Sebagai warga kota Depok dari kecil (karena di kampung halaman hanya numpang lahir), saya banyak merasakan perubahan kota ini. Pembangunan mal, gedung-gedung, rumah, hingga jalanan yang semakin macet juga saya rasakan. Namun saya tetap mencintai kota ini. Mungkin karena sudah nyaman dan terbiasa. Hal lain yang saya pikirkan adalah, perjalanan ini penuh makna. Dimulai dari tim kami yang semula bersikap masing-masing dengan kehidupan lalu kini menjadi erat dan peduli sesama, bapak di kedai kopi yang gemar bercerita, hingga malam ini dengan Pak Junaedi beserta keluarganya untuk kami menumpang beristirahat. Perjalanan ternyata begitu menarik, beruntung kita tinggal di Indonesia yang sangat luas serta kaya akan alam dan budayanya. Saya pun jadi senyum-senyum sendiri, memikirkan apa pengalaman keren yang akan saya dapatkan lagi nanti. Dan akhirnya saya tertidur.

Azan subuh berkumandang, dan waktunya kami untuk bersiap-siap. Mata masih berat karena kami baru tidur jam 2 pagi, dan sekarang jam 4 pagi kami harus bangun untuk persiapan pendakian. Tapi akhirnya kami semua terbangun, salat, mandi, sarapan pagi, dan berpamitan ke keluarga Pak Junaedi untuk memulai perjalanan. Kami pun berangkat menuju jalur Gunung Putri untuk melakukan pendakian. Perjalanan berlangsung singkat, dan sesampainya disana kami langsung ke pusat informasi untuk melakukan registrasi dan pendaftaran. Setelah itu, kami berdoa dan memulai perjalanan.

Cuaca hari ini tidak terlalu terik, namun juga tidak mendung. Alhamdulillah cuaca bagus, pikir kami. Menurut warga, perjalanan lewat Jalur Gunung Putri membutuhkan waktu 7 jam perjalanan untuk sampai pos camping, di Alun-Alun Suryakencana. Tim kami mempersiapkan diri sebaik mungkin, walaupun sedikit mengantuk namun kami tetap semangat dalam melakukan pendakian kali ini. Kami selalu mengedepankan komunikasi, sehingga jika ada yang lelah maka kami break, namun tetap konsisten untuk tidak duduk terlalu lama sehingga kami tetap melakukan manajemen waktu pendakian agar tidak molor dari rencana pendakian yang sebelumnya dibuat. Perjalanan terasa begitu menyenangkan, walaupun lelah kami sesekali mengobrol dan tertawa karena kami saling julid (nyinyir orang lain).

Perjalanan lewat Jalur Gunung Putri terasa menyenangkan, karena masih banyak pohon-pohon besar yang menutupi pendaki dari sengatan matahari. Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki lain, dan tak jarang juga mereka mengajak ngobrol atau sedikit bertegur sapa tentang asal darimana, timnya berapa orang, bahkan sampai rencana pendakian selanjutnya dan bertukar nomor handphone. Inilah salah satu bagian menarik dari perjalanan, yap teman baru! Di kota dengan aktivitasnya, mungkin kita akan sibuk masing-masing dengan kesibukkan yang dimiliki, dan terasa aneh jika ada orang yang tidak kenal menyapa dan mengajak kita mengobrol. Namun di perjalanan (terutama gunung), kita akan saling bertegur sapa dan lebih peduli pada sesama, sekalipun ke orang yang kita tidak kenal. Dan izinkan saya untuk mengutip pemikiran dari Bung Fiersa Besari, bahwa inilah uniknya perjalanan ke gunung. Uang dan kekayaan tiba-tiba tidak lagi seberarti di kota. Canda dan tawa, tiba-tiba tidak lagi sepura-pura di kota. Dan persahabatan, tiba-tiba tak lagi sepalsu di kota. Setelah beberapa waktu kami melakukan pendakian, akhirnya kita sampai di Alun-Alun Suryakencana untuk mendirikan tenda dan camping.

Tim kami melakukan manajemen tugas dengan baik. Rafdhi, Irawan, dan Pural yang mendirikan tenda. Lalu Dabo untuk mengambil air, dan saya untuk memasak. Surya Kencana merupakan padang seluas 50 hektar yang ada pada ketinggian 2.750 m diatas permukaan laut, dan di padang ini banyak terdapat bunga Edelweiss yang sangat indah dan menarik untuk dipandang. Setelah tenda jadi, kami makan bersama dan menikmati indahnya Alun-Alun Surya Kencana di malam hari.

Malam memang sangat dingin, namun pemandangan langitnya menghangatkan. Beruntung sedang tidak ada bulan, sehingga gugusan bintang muncul dan melukis langit dengan indah. Kami kembali mengobrol sembari menikmati langit malam. Mengobrol tentang kehidupan, pemikiran rencana masa depan, pilpres, kabar viral, serta segala macam tentang alam raya Indonesia. Saya benar-benar bersyukur bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kaya. Walaupun banyak sekali kekayaan alam yang di kelola asing atau dibawa ke luar negeri, namun saya percaya suatu hari nanti kita bisa memaksimalkan kekayaan yang ada untuk kepentingan bangsa Indonesia. Saya sadar banyak permasalahan di Negeri ini. Namun saya percaya suatu hari nanti kita akan mampu untuk menyelesaikannya, dan bersama-sama Indonesia akan menjadi negara yang lebih makmur. Obrolan panjang, alhasil saya tertidur.

Pagi hari kami sarapan, berfoto-foto, tegur sapa dengan orang di tenda sebelah, dan bersiap untuk melanjutkan ke puncak gunung Gede dan lintas ke Jalur Cibodas (karena Alun-Alun Surya Kencana merupakan tempat camping sebelum menuju puncak gunung Gede). Tidur yang cukup dan tetap menjaga pola makan membuat tubuh kami menjadi tetap segar dan semangat, sehingga kami akhirnya sampai pada puncak Gunung Gede dengan waktu yang singkat.

Sesampainya di puncak, saya kembali bersyukur dan miris dalam waktu yang bersamaan. Saya bahagia merupakan warna Negara Indonesia, dan makin sadar bahwa negeri ini begitu kaya raya. Begitu luas, beraneka ragam adat dan budaya, tanah yang subur, serta alamnya yang terbentang dari Sabang sampai Marauke. Namun di sisi lain teringat akan hipokritnya di kota, seperti perbedaan pendapat yang merusak persaudaraan, penjilat atasan guna naik jabatan, serta tikus-tikus negara para pencuri uang rakyat yang tak henti-hentinya berdalih. Alangkah lucunya negeri ini.

Namun setelah melakukan perjalanan, saya sadar tidak semua orang-orang di Indonesia hipokrit. Tidak semua orang-orang di Indonesia memaksakan kepentingan untuk dirinya sendiri. Masih banyak orang baik yang ada, dan dengan berjuang bersama-sama, saya rasa Indonesia yang lebih makmur bukan hanya omong kosong belaka. Permasalahan negeri ini memang banyak, namun bersama-sama kita akan mampu menyelesaikannya. Bertahap.

Sejenak saya merenung dan terlintas kejadian-kejadian yang sudah berlalu beberapa hari ke belakang. Perjalanan yang mengakrabkan tim, bapak kedai kopi yang sangat ramah, keluarga pak Junaedi, kawan-kawan pendaki sepanjang perjalanan, semua benar-benar membuat saya teringat akan indahnya negeri ini. Seperti sisi koin yang ada bagian depan dan belakang, Indonesia pun demikian. Dibalik penatnya perkotaan yang memuakkan, ada juga tempat dimana kita bisa merasakan kedamaian. Dan saya sadar sepanjang saya bertukar cerita dengan orang-orang di perjalanan, kami memperkaya pengalaman dan memperkaya pemahaman. Kita tidak lagi berpikir bahwa sukumu apa dan apa alasan untuk saya peduli, namun kita berpikir bahwa kamu saudara saya, dan kita manusia. Yang pada akhirnya saya pikir, dengan melakukan perjalanan maka kita akan lebih mengerti orang lain dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk kedepannya.

Teringat beberapa waktu lalu saya melihat Program dari akun Instagram @humansview untuk Ekspedisi Cerita ke Nepal, saya sangat tertarik dan ingin mengikuti program ini. Bukan sekedar perjalanannya saja, namun saya juga ingin kontribusi serta berbagi cerita tentang Indahnya Indonesia. Saya cinta akan negeri ini. Dan jika beruntung, saya bisa sharing cerita lintas budaya di Nepal karena saya yakin perbedaan lingkungan akan memberikan perbedaan pemikiran pula. Dan harapannya, setelah kaya akan pemikiran, saya akan pulang bersama rekan-rekan seperjalanan ke Indonesia dan memikirkan sebuah cara untuk menyelesaikan permasalahan bangsa Indonesia satu per satu. Bersama-sama tentunya.

Setiap orang punya lingkungannya masing-masing untuk tumbuh, dan saya sadar bahwa saya berbeda dengan yang lainnya. Saya memiliki mindset berkembang. Saya percaya tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Sehingga selama peluit kehidupan belum berbunyi untuk berakhir, saya percaya segala tidak bisa dapat berubah menjadi bisa. Bersama, kita pasti bisa.

Leave a comment